Aku baru saja beberapa bulan tinggal di Jeddah, jadi bahasa arabku juga belum berkembang luas, hanya sebatas " keif halak/keif halik", " syukran" itu sih dari dulu kale! :D dan kalimat-kalimat sederhana lainnya.
Malam itu suamiku mengajak aku dan ibu mertuaku yang sedang berada di Jeddah mengunjungi rumah Habib Abdul Qadir Assaggaf. Salah satu dari anak Habib adalah teman suamiku. Ibu mertuaku memang dari dulu ingin sekali bertemu dengan Habib, dengan adanya jalan mudah karena suamiku mengenal anaknya dan istrinya yang sebelumnya aku juga sudah kenal di salah satu acara. Jadilah malam itu kami kerumahnya yang super luas di daerah elite.
Kami duduk di salah satu sudut ruang tamu yang sangat sederhana. Hanya dialasi oleh karpet dan senderan sofa. Tidak banyak terlihat perabotan di dalamnya, yang aku rasa ini bukan ruang tamu spesial. Masih banyak ruangan dan bangunan lain disekeliling kawasan rumah itu. Saat itu memasuki azan Isya, rumah itu begitu sepi, hanya beberapa anak-anak laki yang kurasa mungkin cucu-cucunya yang bermain bola di teras depan. Sehabis salat baru kami bisa bertemu dengan Habib.
Saat itu aku tidak begitu deg-deg an (entah untuk apa?) dengan pertemuan itu, hanya sedikit gugup dan bingung. Mertuaku walaupun tampaknya sedikit malu-malu dan bingung tapi tampak siap. Kami memasuki kamarnya yang dingin dan semerbak bau 'oud menyebar di dalam kamar yang dipenuhi dengan beberapa foto sang Habib dikala muda, dan beberapa foto lain.
Kulihat sang Habib yang terbujur lemah di tempat tidur dengan mata tertutup. Di samping sisi tempat tidur beberapa orang lelaki yang kurasa mungkin cucu/ keponakan/ menantu nya. Beberapa wanita yang sudah cukup tua terlihat berjejer di sisi lain masih menggunakan pakaian salatnya yang khas berwarna hijau. Entah yang mana istrinya.
Kami menunggu giliran untuk bisa dapat mencium tangan sang Habib. Aku merasa kasihan melihatnya, sungguh berbeda dengan foto yang terpajang dikamarnya ketika ia masih cukup segar, dengan tubuh nya yang besar dan tampak berwibawa. Sekarang ia terbaring lemah dengan mata tertutup, diselimuti dengan selimut yang sederhana.
Salah seorang menantunya memberi tahu kami, bahwa cukup mencium tangannya saja tanpa harus mengangkat tangan Habib dan boleh minta didoakan dengan berbisik pelan di telinga sang Habib. Lalu tibalah giliran kami, ibumertuaku yang pertama maju, ia mencium tangannya dan berbisik pelan disisi Habib.
Tiba giliranku.. kuhampiri sang Habib, kucium tangan kanannya yang dilapisi oleh saputangan putih. Saat itu aku hanya berdoa dalam hati semoga saja Habib WaliAllah ini bisa mendengar isi hatiku *betul-betul bodoh!!*
Sepulangnya dari sana aku merasa kesal, kenapa aku diajak kerumahnya di saat aku belum lancar berbahasa arab, suamiku hanya tertawa mendengar ocehanku. Aaahh seandainya saja aku masih bisa bertemu lagi dengannya, aku tidak akan tinggal diam saja. Alhamdulilah aku masih bisa bertemu dengannya walau hanya sekali, aku bisa mencium tangannya, melihat dengan langsung sang Habib.
Kini sang Habib telah tiada, tapi kenanganku tentangnya masih terekam jelas. Selamat jalan Habib.
AlFatiha Ila Habib Abdul Qadir Assaggaf...